Skip ke Konten

Riset Panre Bessi di Massepe, Mengkaji ke Jerman dan Belanda

6 September 2022 oleh
Hayana

Riset Panre Bessi di Massepe, Mengkaji ke Jerman dan Belanda

 “Paddisengenge` Silallo Tessirapi

Ilmu pengetahuan selalu mempunyai celah atau gap untuk dilengkapi. Ini yang dimaksud sebagai gap knowledge atau gap research dalam penelitian. Ibarat puzzle, temuan peneliti akan melengkapi celah puzzle keilmuan dari hasil peneliti sebelumnya. Berikut wawancara khusus dengan Dr. Andi Bahri S, M.E., Doktor lulusan UIN Sunan Kalijaga yang meneliti pandai besi di Ajatappareng, setelah menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Melestarikan Kearifan Lokal Menguatkan Ekonomi Lokal” di hadapan civitas academica IAIN Parepare, Senin (05/09/2022).

Mengapa mengambil topik orasi ilmiah Melestarikan Kearifan Lokal Menguatkan Ekonomi Lokal?

Beberapa alasan akademik terkait pemilihan topik Melestarikan Kearifan Lokal Menguatkan Ekonomi Lokal dalam Orasi Ilmiah kali ini bahwa kebangkitan ekonomi nasional harus diakui sebagai akumulasi dari kebangkitan ekonomi pada tingkat masyarakat lokal di pedesaan. Pada kesempatan orasi ilmiah yang diamanatkan pada momentum pembukaan kuliah semester Gasal Tahun Akademik 2022/2023, saya berusaha memperkenalkan potensi ekonomi lokal dari industri kreatif pandai besi yang sudah lama tumbuh dan berkelanjutan di Ajatappareng, khususnya di Massepe. Bisnis klasik pandai besi di Massepe tetap eksis di setiap era revolusi Industri.

Kemampuan beradaptasi komunitas pandai besi tersebut dengan perkembangan yang terjadi membuat komunitas pandai besi di Massepe bisa bertahan dan memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat setempat. Pandai besi dikategorikan sebagai produk dari industri kreatif yang memerlukan kreatifitas tingkat tinggi di dalam membuat produk.

Industri kreatif saat ini sangat diuntungkan dengan dukungan perkembangan teknologi digital yang sangat maju dan massif. Hal tersebut tidak lepas dari tesis yang diperkenalkan oleh Alvin Toffler dalam dua karyanya yang sangat otoritatif di bidang perkembangan teknologi informasi dan gelombang ekonomi, yaitu future shock dan the third wave.

Internet of thing dan digitalisasi kehidupan sosial dan ekonomi sebagai konsekuensi dari revolusi industri 4.0 telah membawa kehidupan umat manusia dalam lompatan yang jauh ke depan. Konsekuensi dari lombatan peradaban sebagai bagian dari revolusi industri yang terjadi telah mendorong kehidupan manusia untuk segera mengadaptasi kehidupan era society 5.0 yang banyak ilmuan menempatkan robotic sebagai tool baru yang akan menggantikan peran-peran manusia. Sebagaimana banyak ilmuan sosial juga menempatkan Pandemi Covid-19 yang terjadi secara global sebagai trigger yang mempercepat peralihan peradaban di abad 21 ini.  

Pada beberapa aspek kemampuan beradaptasi bisnis klasik industri kreatif pandai besi dengan berbagai perubahan yang terjadi membuat industri tradisional ini tetap eksis dan bertahan. Bahkan hal menarik untuk diungkap bahwa pandemi covid-19 tidak membuat grinda pandai besi berhenti berbunyi.

Mengapa Ajatappareng dijadikan lokasi studi?

Karya akademik yang ditulis oleh Stephen Druce dengan judul “The lands west of the lakes….” adalah karya akademik yang mempengaruhi rasa keingintahuan penulis dalam menjadikan Ajatappareng sebagai lokus studi. Tentunya selain karya tersebut, pertimbangan akademik yang lain, bahwa karakteristik wilayah Ajatappareng yang unik. Terutama keunikan budaya masyarakat Ajatappareng dalam hal keterampilan ekonomi lokal yang bersifat tradisional memiliki sumbangsih yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat lokal, masyarakat Ajatappareng dikenal dengan beberapa keterampilan industri kreatif tradisional, seperti panre ulaweng (Pandai Emas) di Pangkajene, panre batu (pengrajin batu) di Allekkuang, panre tana (kerajinan tanah liat) di Bilokka, panre aju (kerajinan kayu) di Amparita, panre bola (arsitektur rumah kayu) di Rappang, Maroanging dan di Pinrang, dan panre bessi (pandai besi) di Massepe, Maroanging dan di Pinrang.


Gambar Sampul buku karya Stpehen C. Druce

Selain itu, wilayah geografis Ajatappareng sarat dengan nilai-nilai peninggalan sejarah serta nilai-nilai kearifan lokal yang terkait dengan kegiatan ekonomi lokal. Ada berbagai jenis kegiatan ekonomi yang telah menjadi sumber utama kehidupan masyarakat Ajatappareng dan telah memberikan sumber mata pencaharian bagi masyarakat Bugis di setiap generasinya. Ajatappareng pada masa lalu dikenal sebagai kerajaan yang sangat berbudaya, dan warganya mewarisi berbagai keterampilan seni kerajinan yang mendukung kegiatan ekonomi mereka. Orang-orang yang menekuni dan menjadi ahli pada keterampilan seni kerajinan tertentu dalam masyarakat Bugis, dikenal dengan istilah ‘panre’. Oleh karena itu, keterampilan pada kerajinan tingkat tinggi ini menjadikan wilayah Ajatappareng dalam studi ini disebut sebagai negeri ‘panre’.


Foto bersama Marthin Ramsted di Kampus Marthin Luther School of Philosophy, Jerman.

(Peneliti budaya, agama dan kepercayaan lokal. Pernah tinggal beberapa tahun di Amparita untuk penelitian)

Apa daya tarik dari semangat ekonomi Bugis?

Istilah ‘reso’ dalam keseharian masyarakat Bugis saat ini seakan menjadi guyonan biasa, apalagi istilah ini disematkan dengan kata-kata lain dalam bentuk frase berbahasa Bugis seperti ‘itako reso’ dan sebagainya. Namun, sesungguhnya dalam semangat ekonomi budaya (cultural economy) istilah ini mempunyai makna tersendiri bagi etnis Bugis. Begitupun sebenarnya apa yang terjadi pada komunitas industri kreatif pandai besi, seperti di Massepe. Semangat ‘reso’ sebagai spirit ekonomi pada komunitas pandai besi bekerja dan tertanam dalam jiwa mereka. Demikian pula nilai-nilai kearifan lokal lainnya seperti siri`, pesse, dan sibali reso bekerja dalam jiwa dan semangat ekonomi mereka, begitupun prinsip-prinsip Islam sebagai ajaran agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Saya yakin semua ilmuan di bidang ekonomi, manajemen, dan kewirausahaan akan membenarkan Petuah dalam Bahasa Bugis yang di sampaikan Orang Bijak Nenek Mallomo di Sidenreng “Resopa Temmangingi Namalomo Naletei Pammase Dewata”.

Pada poin ini, teori Geertz tentang culture as stimulus dan teori ekonomi rasional dari Weber sangat tepat digunakan untuk mengembangkan kajian ekonomi lokal di masyarakat pedesaan, dan pendekatan-pendekatan yang demikian akan menampilkan signifikansi peran ekonomi lokal terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, sebab akan sulit mewujudkan pemerataan ekonomi nasional tanpa mewujudkan pertumbuhan ekonomi lokal.

Oleh karena itu, kajian budaya dalam berbagai pendekatan perlu terus dilakukan dan dikembangkan. Kajian budaya selalu menempati wacana yang dinamis di setiap zaman, dan tampaknya saat ini arus belajar mengalir ke Dunia Timur. Gejala ini dikuatkan dengan budaya nusantara yang semakin meningkat, bila kondisi ini terus berlanjut maka akan tampak bahwa nilai-nilai lokal lebih relevan bagi kehidupan global di dalam menyikapi distrupsi sosial di era terkini revolusi industri. Ekonomi budaya Bugis klasik yang ditonjolkan dalam orasi ilmiah ini, banyak menunjukkan kearifan yang tak terhingga nilainya secara materil, dan masih relevan dengan kehidupan masa kini. Bila generasi baru tidak menggalinya kembali dari generasi lama, sikap yang demikian disebut menghilangkan pusaka pengetahuan (Bugis: makkabeang mana`).    

Mengapa melakukan riset ke Jerman dan Belanda?

Riset Lapangan saya di Ajatappareng dengan fokus studi tentang industri kreatif pandai besi tidak lepas dari stimulus akademik dosen dan mentor akademik saya di Yogyakarta. Ide riset ini sangat terinspirasi dari riset yang pernah di lakukan oleh Prof. Irwan Abdullah tentang “The Muslims Businessmen of Jatinom”, dan saya sangat bersyukur bisa dibimbing dan diuji langsung oleh beliau dalam tiap tahapan ujian disertasi saya di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Saya bersyukur bisa merasakan atmosfir akademik di Kampus Georg-August University di Göttingen, Jerman melalui Program Sandwich antara Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Kampus di Göttingen Jerman atas sponsor dari Mora 5000 Doktor Diktis Kemenag RI. Di Jerman saya banyak dibimbing oleh Prof. Dr. Fritz Schulze dan Prof. Irene Schneider dalam memperkaya metode riset dan academic writing serta banyak bertukar pikiran terkait riset di bidang ekonomi dengan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh Program Doktoral di Jerman yang bergabung dalam Organisasi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Göttingen. Untuk pengayaan metode riset budaya saya diarahkan dan diantar langsung oleh Prof. Fritz dari Göttingen ke Institut Martin Luther, School of Philosophy di Halle, Jerman agar bisa bertemu dan dapat bimbingan langsung dari Prof. Martin Ramstedt, sebagai expert di bidang social anthropology. Sikap dan perlakuan Professor di Jerman kepada kami peserta sandwich sangat mengesankan dan menginspirasi riset kami selanjutnya.

Di sela-sela studi di Jerman, saya juga memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya data riset budaya di Universiteit Leiden Belanda. Dari pengalaman akademik ini saya banyak belajar tentang bagaimana proses riset dilaksanakan dan bagaimana pembimbingan dengan promotor dilakukan demi menggapai cita dan mewujudkan idealisme karya akademik, dan pada akhirnya saya merasa bahwa tahapan studi, proses riset dan pembimbingan itulah ujian yang sesungguhnya. (mif)


di dalam Berita
Hayana 6 September 2022
BAGIKAN POSTINGAN ini
Label
Arsip